Sudah menjadi sebuah kewajaran jika manusia mendambakan stabilitas, kenyamanan, dan keamanan dalam kehidupannya. Bahkan beberapa orang menjadikan hal-hal tersebut sebagai penentu utama eksistensinya. Termasuk pada cara memandang relasi dengan Tuhan yang menjadi penentu semesta. Maka tidaklah mengherankan apabila kita mendapati bahwa terdapat gejala kerohanian tertentu yang seringkali menempatkan relasi dengan-Nya berdasarkan apa yang tengah dialami. Saat hidup tengah baik-baik saja rasanya lebih mudah untuk berdoa, percaya akan penyertaan-Nya, serta memelihara relasi dengan Tuhan. Namun, ketika ragam pergumulan serta cobaan datang, rasanya begitu sulit untuk membangun iman dan memelihara relasi dengan Tuhan. Mulut memanjatkan doa pada-Nya, tetapi hati meragukan perbuatan-Nya.
Inilah yang tergambar dalam perikop yang kita baca. Kitab Ayub merupakan bentuk tulisan atau sastra yang mengangkat tema penting dalam budaya Timur Tengah kuno yaitu: mengapa seseorang yang perilakunya baik justru menderita? Beberapa ahli berpendapat bahwa Kitab Ayub ditulis sekitar abad ke-9 hingga 8 SM. Ayub sendiri diperkenalkan sebagai seseorang yang memiliki segalanya yakni harta dan keturunan serta orang yang benar di hadapan Allah. Pada pasal 1, Ayub disebut namanya oleh Allah sendiri pada sebuah sidang surgawi. Ia dibanggakan oleh Allah atas dasar kesalehan ya. Maka Iblis mengajukan perkara untuk mengujinya. Sosok ini adalah oknum yang menentang Allah dan mencobai manusia.
Melihat Allah menunjukkan kesalehan Ayub, maka Iblis mencoba untuk mengajukan satu perkara terkait hal tersebut, yakni “Apakah dengan tidak mendapat apa-apa Ayub takut akan Allah?” Ia mencurigai motivasi Ayub. Manusia mengejar untung, harta, dan kuasa, maka wajarlah Ayub menjadi saleh karena Allah telah melengkapi segala kebutuhannya. Maka situasi yang hendak digarisbawahi adalah apakah Ayub melayani Tuhan demi pemberian yang disediakan-Nya atau karena ia mengasihi Allah dengan segenap keberadaanya. Kejujuran dan kesalehan Ayub yang hendak dibuktikan disini.
Melalui perikop pada saat ini sesungguhnya kita hendak diajak untuk menilik motivasi kehidupan keberagamaan kita masing-masing. Mengapa orang beragama dan memutuskan untuk menyembah Tuhan Yang Mahakuasa? Jangan-jangan kita mengikuti Tuhan hanya untuk diberkati, naik pangkat, memiliki hidup yang berkecukupan, dan berhasil di dunia ini. Kita mendekat dan menyembah-Nya karena kita membutuhkan sesuatu dari-Nya. Pemaknaan iman yang demikian sesungguhnya bukanlah sebuah iman yang dewasa. Justru kedewasaan iman dan ketulusan kita dalam menyembah-Nya terbukti, saat sesuatu yang tidak kita kehendaki terjadi dalam hidup sehari-hari yang kita jalani. Semoga kita dapat selalu menyembah-Nya dalam segala situasi. Entah itu saat hidup kita sedang baik-baik saja, maupun saat hidup tengah berada dalam situasi yang sebaliknya.