Usia seseorang seringkali menjadi patokan atas kepercayaan orang lain kepadanya. Semakin tua usia seseorang maka ia akan dipandang lebih bijaksana serta berpengalaman dari yang berusia lebih muda. Pada hari ini kita melihat bahwa hikmat dan kebijaksanaan seringkali tidak selalu berpadanan dengan usia seseorang. Melainkan berlandaskan pada kesediaan seseorang untuk berproses serta mengandalkan Allah dalam hidupnya.
Bacaan kita kali ini menampilkan tokoh baru di tengah-tengah dialog yang terjadi antara Ayub dengan sahabat-sahabatnya. Namanya adalah Elihu, seseorang yang nampaknya lebih muda dari Ayub serta sahabat-sahabatnya. Akhirnya Elihu harus bicara dan tampil di tengah-tengah perdebatan keras yang terjadi. Kemunculannya dilatar belakangi keresahan atas Ayub yang selalu merasa benar dan ketiga sahabat Ayub yang menyerah untuk meyakinkan Ayub. Posisi Elihu secara garis besar sama dengan sahabat-sahabat Ayub yakni ia yakin bahwa Ayub tidak benar/adil di depan Allah. Penderitaan yang Ayub sedang alami adalah adalah peringatan agar ia meninggalkan kesombongannya.
Elihu tampil dan mengemukakan pendapatnya dengan runtun serta tata bahasa yang formal sebagaimana lazimnya dalam pengajaran dan diskusi. Ia memang hendak membangun sebuah diskursus yang tajam. Motivasi dari keberanian serupa dengan sahabat-sahabat Ayub yakni sebuah kejujuran hati dan keresahan melihat perilaku Ayub yang melenceng. Dasar Elihu untuk memulai diskusi tersebut adalah kesetaraan antara dirinya dengan Ayub karena bagaimanapun Tuhan sama-sama membentuk mereka dari tanah liat.
Elihu telah mendengar dengan saksama ucapan-ucapan Ayub dan menggunakannya sebagai tuduhan. Berulangkali Ayub menyatakan dirinya tidak bersalah, bersih, dan suci serta menempatkan Allah sebagai pihak yang selalu mengawasinya serta seolah-olah memusuhinya. Elihu tidak dapat menerima argumentasi tersebut. Menurut Elihu, Allah tidak dapat dilukiskan sebagai sosok yang memusuhi orang lain atau mencari cara untuk menyusahkannya. Allah jauh di atas makhluk-Nya dan tidak boleh dipersalahkan. Secara filosofis dan teologi, pendapat Elihu ini bisa diterima, tetapi ia mengesampingkan fakta bahwa ungkapan-ungkapan Ayub merupakan bagian dari caranya bertahan akibat terpukul oleh penderitaan yang hampir tidak tertahankan lagi. Pada akhirnya Elihu hanya mengulangi pola yang sama yang telah dipakai oleh sahabat-sahabat Ayub.
Keberanian dan kesempatan untuk berbicara memang tidak tergantung pada usia seseorang. Meskipun demikian seseorang tetap harus mengolah kata-katanya dengan baik serta menyampaikannya dalam hikmat serta kerendahan hati. Tanpa keduanya, ucapan-ucapan kita dapat menuju pada penghakiman sepihak dan kata yang menyakitkan serta menusuk hati seperti yang terjadi pada Elihu. Maka mintalah hikmat-Nya agar Tuhan menuntun kita dalam berkata-kata dengan penuh kebijaksanaan dan dapat menjadi berkat bagi sesama.