Manusia diberkahi dengan akal budi yang membuat kita memiliki beragam peluang untuk berkembang dan bertumbuh seturut dengan kreativitas yang lahir dari proses berpikir kita. Namun ada kalanya kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa ada keterbatasan dan batasan tertentu yang kita miliki. Kesadaran tersebut membuat kita menjadi pribadi yang rendah hati.
Perikop yang kita baca kali ini mengandung pesan yang serupa dengan ayat sebelumnya. Lewitan kembali disorot. Setelah sebelumnya disampaikan mengenai betapa perkasa serta menakutkannya Lewiatan, kini Lewiatan ditampilan sebagai makhluk yang tidak dapat ditembus pertahanannya. Makhluk manapun mempunyai titik kelemahan, Lewiatan tidak. Dagingnya tidak dapat disentuh, hati sekeras batu kilang, segala senjata yang berusaha menyerangnya akan hancur.
Lumpur dan pasir dilalui bagaikan suatu kereta pengirik; lubuk yang terdalam dan laut yang digunakannya seakan-akan kuali untuk masak rempah yang harum, jejaknya bercahaya. Orang-orang di masa lampau begitu terpana pada kemisteriusan laut yang tidak terjelajahi itu tetapi bagi Lewiatan, laut tidak berarti karena telah dikuasainya. Tidak ada yang setara di bumi, ia raja segala binatang yang ganas. Namun, ia pun makhluk Allah, ia sangat berbahaya , tapi tidak bebas merajalela.
Segala kisah tentang Lewiatan dan Behemot menunjukkan ruang misteri yang belum dapat dijelajahi manusia serta mempertontonkan keterbatasan kita. Rupanya di tengah segala daya cipta manusia, kita tetaplah ciptaan yang penuh dengan kelemahan. Kesadaran itu seharusnya menghadirkan rasa rendah hati dan hasrat untuk semakin bergantung pada-Nya. Tuhan adalah pemilik segala sesuatu termasuk segala hal yang belum terjangkau oleh akal budi kita. Maka bersandarlah kepada-Nya dan akuilah keterbatasan kita karena Ia akan memperlengkapi.