Perjumpaan setiap orang dengan Allah merupakan sesuatu yang sangat personal dan unik. Allah menjumpai setiap pribadi dalam kekhasan pengalaman yang dialami setiap orang. Sehingga perjumpaan itu bisa saja terjadi dalam suka maupun duka, ketika tawa atau tangis. Kesediaan hati untuk membuka diri bagi pernyataan-Nya merupakan prasyarat penting bagi perjumpaan tersebut.
Inilah yang terjadi dalam perjalanan kehidupan Ayub. Hidupnya yang baik-baik saja bahkan berlimpah segala sesuatu, tiba-tiba berbalik begitu saja. Kehilangan harta, anak-anak, ditinggalkan sang istri, hingga mengalami sakit yang begitu parah. Sepanjang deritanya, Ayub bergumul tentang banyak hal. Ia bahkan mengajukan gugatan kepada Allah atas apa yang dialaminya. Dalam ketidakbersalahannya, mengapa Ayub harus mengalami penderitaan. Sementara para sahabatnya menghakimi dan menganggap Ayub diganjar penderitaan karena dosa-dosanya.
Kini sampailah kita pada bagian akhir perjalanannya. Allah menjumpai Ayub dalam badai. Di gemuruh badai, Allah menyatakan kuasa-Nya serta menunjukkan perbuatan-Nya atas semesta. Gugatan Ayub tiba-tiba luruh seketika. Ia sadar bahwa pada akhirnya Tuhanlah yang berkuasa dan berhak menghadirkan apapun atas semesta. Namun Tuhan menghargai kejujuran Ayub serta upayanya untuk mencari keadilan dalam deritanya. Sementara pada sisi yang lain Ayub juga sadar bahwa sebagai ciptaan ada jarak yang terbentang jauh antara ciptaan dan Sang Pencipta. Dalam perjumpaan yang didahului dengan perjalanan derita itu, Ayub menyimpulkan hal yang begitu indah, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (Ayub 42:5 TB2).
Sahabat Alkitab, marilah kita mengenal Allah melalui segala sesuatu dalam hidup kita termasuk segala situasi yang kita alami. Penderitaan dan beragam kesulitan hidup haruslah kita maknai dalam relasi dengan-Nya. Memang tidak mudah rasanya, tetapi saat hati berserah serta mengarah kepada Tuhan maka kita dapat melihat segala sesuatu berdasarkan keberserahan penuh pada Tuhan. Hal tersebut menunjukkan kesetiaan kita sekaligus pengakuan akan kedaulatan-Nya. Tidak ada hal yang lebih besar di semesta ini selain dari Allah yang memiliki segala sesuatu serta berdaulat untuk mendatangkan apapun yang Ia kehendaki.