Kita sering mendengar konsep mengenai manusia yang mencari “perkenan Tuhan” atau menjadi berkenan kepada Tuhan, darimanakah asal dari pemahaman tersebut? Dalam perjanjian lama kita melihat sebuah konsep ketuhanan dimana Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Sang Pencipta yang Maha Kudus, Sang Pencipta Semesta. Ia membangun perjanjian dengan umat-Nya, dimana manusia yang berada dalam perjanjian itu haruslah menyembah Tuhan senantiasa. Penyembahan terhadap Tuhan yang Maha Kudus itu terjadi dalam kekudusan manusia yang terjadi melalui ketertundukan kepada-Nya dan menaati perintah-Nya. Maka dari itu setiap orang yang menyembah-Nya diundang untuk hidup berkenan pada-Nya dengan mengupayakan kekudusan hidup.
Menariknya konsep kekudusan dalam perjanjian lama tidak hanya terkait dengan kesalehan ritualistik yang dicapai melalui ibadah dan penyembahan pribadi kepada-Nya. Kekudusan juga terjadi dengan mewujudkan kehidupan yang baik dalam relasi dengan sesama dan seluruh ciptaan. Hal itu nampak melalui bacaan kita kali ini. Tuhan Sang Raja Maha Mulia itu hanya dapat disembah oleh mereka yang bersih tangannya, murni hatinya, tidak menyerahkan diri kepada penipuan, dan tidak bersumpah palsu. Dengan kata lain Sang Raja menuntut integritas dari umat-Nya agar mereka berkenan kepada Tuhan.
Bayangkanlah hal ini dalam konteks protokoler ketika bertemu dengan kepala negara. Jika biasanya protokoler itu bertemu dengan hal-hal yang sifatnya formalitas, tidak demikian “protokoler” ketika ingin berkenan kepada Sang Allah. Ia menuntut perubahan dan kesalehan sejati dari manusia. Jujur, tidak bersumpah palsu, berbuat dan melakukan yang baik, semuanya merupakan hasil dari ketertundukan kepada Allah. Sederhananya, jika Tuhan mencintai keadilan dan kejujuran maka sudah sepatutnya para pengikut Tuhan juga melakukan hal serupa. Bukankah ini hal yang dibutuhkan oleh bangsa kita? Rasa ketuhanan dan keberagamaan yang kuat dari bangsa ini, dikuatkan dengan rasa keadilan dan perjuangan yang kuat untuk memelihara integritas.