Di era informasi yang serba cepat ini, banyak aspek kehidupan manusia telah berubah. Salah satunya ialah bagaimana kita menilai sebuah kebenaran. Akibat dari cepatnya arus informasi, kini kebenaran seringkali ditentukan lewat seberapa sering hal tersebut disuarakan. Kita hidup dalam era di mana suara yang keras lebih cepat viral ketimbang suara yang benar. Banyak orang pandai berdebat, tapi tak banyak yang sungguh-sungguh berbicara dari hati yang dipenuhi hikmat dan kebijaksanaan. Tersingkaplah watak melalui perkataan yang mudah sekali terjebak dalam polemik, cenderung reaktif, entah karena marah, takut, atau ingin pamer keunggulan. Dalam dunia yang seperti itu, seruan pemazmur menjadi ajakan yang sungguh menarik dan mengundang kita untuk berefleksi. Saat kita bersuara dan mengeluarkan pendapat kita, apa yang sesungguhnya menjadi sumber dari kata-kata tersebut?
Pemazmur berkata, “Mulut orang benar mengucapkan hikmat.” Ini bukan sekadar soal berkata yang benar atau sopan. Ini tentang kata-kata yang lahir dari hati yang ditempa oleh firman Allah. Orang benar tidak asal bicara; ucapannya diisi oleh kedalaman merenungkan kebenaran Tuhan, sehingga ketika ia berbicara, ada hikmat yang menghidupkan. Di sisi lain, lidahnya membicarakan keadilan. Ia tidak hanya pandai bersilat lidah tentang kebenaran teologis, tapi lidahnya juga menjadi pewarta keadilan sosial. Orang benar peduli pada nasib yang lemah, berani bersuara bagi mereka yang tak terdengar. Ia menjunjung keadilan karena “Taurat Allah ada di dalam hatinya, langkah-langkahnya tidak goyah”. Hal ini menggambarkan bahwa hidup orang benar tidak dikendalikan oleh trend, tekanan sosial, atau kegelisahan terhadap kesuksesan orang fasik. Ia melangkah teguh karena arah hidupnya ditentukan oleh kebenaran yang hidup di hatinya. Ketika dunia di sekelilingnya bising dengan tipu daya, ia tetap berjalan di jalan kebenaran dengan tenang.
Tentu pemazmur tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa orang fasik seringkali mengintai dan mencari-cari kesalahan orang benar (ayat 32). Tetapi ada satu kepastian yang meneguhkan, yaitu Tuhan tidak akan membiarkan orang benar jatuh ke tangan mereka (ayat 33). Hidup orang benar mungkin tidak viral, tidak glamor, bahkan seringkali tampak ‘biasa saja.’ Namun Tuhanlah yang memegang dan meneguhkan langkahnya.
Sahabat Alkitab, pesan pemazmur ini menjadi sangat relevan bagi kita yang sering merasa minoritas di tengah budaya yang lebih menghargai pencitraan ketimbang kebenaran. Kita dipanggil untuk menjadi orang-orang yang berani berbicara hikmat dan keadilan, bukan karena ingin diakui, tapi karena dalam hati kita tertanam firman Allah. Kita tidak perlu kuatir jika suara kita kalah keras dibandingkan mereka yang “tumbuh mekar seperti pohon aras Libanon”, sebab akhirnya mereka akan lenyap, tapi damai sejahtera menjadi warisan bagi orang benar.