‘Penyesalan datangnya belakangan’ agaknya sangat menggambarkan kondisi bangsa Israel dalam perikop ini. Akibat perilaku mereka sendiri, untuk sekali lagi, orang Israel harus mengalami kemalangan atau konsekuensi yang justru merugikan mereka. Pada dialog antara Tuhan dengan Musa ini pun telah cukup menggambarkan bahwa orang Israel memang telah acap kali mencobai dan berupaya mangkir dari bimbingan suara Tuhan. Terlebih lagi, pada momen penolakan mereka untuk melanjutkan perjalanan menuju tanah Kanaan akibat ketakutan terhadap para penduduk di dalamnya, satu generasi dari bangsa Israel pun tidak diperkenankan oleh Tuhan untuk memasuki tanah tersebut.
Secara objektif sebenarnya konsekuensi ini justru sesuai dengan keinginan mereka yang memang pada dasarnya enggan untuk melanjutkan perjalanan ke tanah Kanaan. Namun, hal ini tidak berarti menggagalkan rencana Tuhan yang sudah lebih dahulu disampaikan. Tuhan menetapkan bahwa, “semua orang yang telah melihat kemuliaan-Ku dan mukjizat-mukjizat yang Kubuat di Mesir dan di padang gurun, namun telah sepuluh kali mencobai Aku dan tidak mau mendengarkan suara-Ku, pasti tidak akan melihat negeri yang Kujanjikan dengan sumpah kepada nenek moyang mereka! Semua yang menista Aku ini tidak akan melihatnya.” Secara lebih dramatis yang juga semakin membuat orang Israel menyesali sikap mereka sendiri adalah ketika Tuhan berkata, “Tentang anak-anakmu yang telah kamu katakan akan menjadi tawanan, merekalah yang akan Kubawa masuk, supaya mereka mengenal negeri yang telah kamu tolak.” Mereka yang telah berulangkali merasakan tanda kehadiran dan bukti kuasa Tuhan, ternyata tidak serta-merta memiliki iman yang kokoh. Inilah sebuah contoh dari manusia-manusia yang menjadikan kuasa Tuhan sebagai komoditas untuk dinikmati dalam tuntutan dengan pemenuhan kepuasan diri sendiri dan tidak memaknainya sebagai elemen pembangunan relasi iman yang intim.
Sahabat Alkitab, cara Tuhan dalam bertindak memang sangatlah tidak dapat terduga. Ada kalanya kita merasa begitu percaya diri karena beragam kenyataan yang membuat kita sangat yakin akan datangnya keberhasilan. Namun, ada juga saat ketika kita terlalu asyik dengan kenyamanan diri sendiri hingga justru melupakan karya Tuhan hingga lebih mengutamakan keinginan diri sendiri. Itulah sebabnya, kita selalu membutuhkan kerendahan hati dalam mendengar suara Tuhan dalam menjalani hidup agar justru tidak berubah menjadi manusia-manusia yang sangat mudah meninggalkan dan melupakan Tuhan. Kita pun perlu mengimani kuasa Tuhan, bukan justru terus-menerus menuntutnya.