Sosok Musa memang memiliki nilai yang tinggi dalam tradisi Yudaisme. Sebagai orang yang diutus oleh Tuhan, dia menjalankan peran yang sangat besar terhadap pembentukan kebudayaan dan fondasi-fondasi keberimanan Yahudi. Meski demikian, Musa bukanlah manusia sempurna. Terlepas dari segala sumbangsihnya terhadap bangsa Israel dan pengabdiannya dalam menjalankan tugas kepemimpinan dari Tuhan, Musa memiliki celah iman yang dianggap sebagai dosa di hadapan Tuhan. Keberdosaan ini pun tidak lepas dari tugasnya dalam memimpin bangsa Israel menuju tanah perjanjian. Semuanya berkaitan dengan pengalaman pemberontakan orang Israel di Meriba, yakni ketika mereka menuntut air minum di tengah padang gurun tersebut. Tindakan cela yang dilakukan oleh orang Israel ternyata juga menyeret pemimpin mereka, Musa dan Harun, melakukan tindakan dosa di hadapan Tuhan.
Pada Bilangan 20:2-13 kita dapat melihat ulang mengenai penilaian Tuhan atas tindakan Musa dan Harun dalam merespons sikap pemberontakan orang Israel di Meriba. Tuhan berkata, “Karena kamu tidak percaya kepada-Ku dan tidak menghormati kekudusan-Ku di depan mata orang Israel, sebab itu kamu tidak akan membawa jemaah ini masuk ke negeri yang Kuberikan kepada mereka.” Tepat seperti pengalaman di Meriba itulah, Tuhan kembali menegaskan keputusan-Nya bahwa Musa memang tidak akan memasuki tanah perjanjian. Itulah mengapa, pada perikop Ulangan 32:48-52 Tuhan memerintahkan Musa untuk naik ke atas gunung Nebo untuk menikmati tanah perjanjian secara visual. Keputusan Tuhan sudahlah tetap bahwa Musa tidak akan mendapatkan pengalaman langsung untuk hidup di tanah perjanjian selain dari sebatas pengalaman visual mengenai janji Tuhan tersebut. Meski demikian, Musa tetap mengakhiri tugas kepemimpinannya dan menghabiskan masa-masa akhir hidupnya dalam upaya untuk menjadi pribadi yang mendengar dan menyuarakan pesan Tuhan.
Musa menjadi contoh mengenai seorang pemimpin yang penuh kerendahan hati dan mau berubah. Ia memang dipandang tinggi oleh orang-orang Israel, tidak hanya pada semasa hidupnya melainkan juga beradab-abad pasca kematiannya. Namun, Musa tetap menyadari posisinya di hadapan Tuhan. Ia tidak berbantah dengan Tuhan, apalagi menggugat keputusan Tuhan yang tidak mempersilahkannya memasuki tanah perjanjian. Musa hanya mendengar dan menerima keputusan Tuhan sembari terus menjalankan perannya dalam ketulusan. Sungguh sebuah karakter dan teladan hidup yang juga perlu kita teladani sebagai umat Tuhan. Apakah kita sudah membuka hati untuk menjalani perintah Tuhan dalam ketulusan dan apa adanya? Atau kita masih sering mengeraskan hati untuk selalu menyisipkan keinginan pribadi di tengah agenda pekerjaan firman Tuhan? Seringkali hambatan terbesar untuk melibatkan diri dalam kebenaran firman Tuhan adalah keinginan dan agenda pribadi yang justru bertentangan dengan firman itu sendiri.