Kesaksian Stefanus pada saat ini memberikan fokus yang berbeda. Dia memang masih merujuk pada pengalaman bapa-bapa leluhur bangsa Israel untuk memberikan penekanan pengalaman yang sedang dia alami di hadapan para pemuka agama Yahudi saat itu. Bedanya, saat ini Stefanus berfokus pada penolakan yang didapatkan Musa dari orang-orang Israel meski sudah ditolong oleh Musa. Ini pun menjadi sebuah kenyataan historis yang, menurut Stefanus, perlu disadari oleh para orang Yahudi.
Nampaknya, Stefanus ingin menegaskan kepada para pemuka dan masyarakat Yahudi yang hadir di persidangan saat itu bahwa perlakuan yang mereka berikan kepada dirinya tidaklah jauh berbeda dari berbagai tindakan yang pernah dilakukan oleh bapa-bapa leluhur bangsa Israel. Dahulu Yusuf dikhianati oleh para saudaranya sendiri karena mereka penuh iri hati kepadanya dan Musa ditolak oleh saudara sebangsa meski dia memiliki ketulusan untuk menolong mereka. Dua pengalaman itu pun menjadi semacam perbandingan dari Stefanus atas segala perlakuan yang sudah dilakukan kepada dirinya. Dia mendapatkan tuduhan palsu karena iri hati dari sebagian orang yang merasa tidak mampu bersaing dengannya. Persidangan yang Stefanus alami sebagai saksi Kristus pun merupakan bentuk penolakan atas iman yang dia miliki.
Melalui kisah Musa yang disampaikan oleh Stefanus dan dengan mempertimbangkan perlakuan yang dialami oleh Stefanus pada saat itu, kita pun dapat melihat sebuah perlakuan yang sangat mungkin dialami para umat Tuhan, yakni penolakan. Entah Musa maupun Stefanus telah mangalami penolakan pada saat berkarya dalam ketulusan. Kita pun perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai penolakan, yang meski menyakiti hati, agar tidak memengaruhi kualitas diri, ketulusan dalam berkarya dan menjadi saluran berkat dalam pekerjaan misi TUHAN di dunia ini.