Di penutup kitabnya, si Pengkotbah kembali ke apa yang paling mendasar dalam hidup manusia, yaitu: sikap takut akan TUHAN. Itulah inti semua hikmat. Percuma menulis banyak buku dan belajar sampai bungkuk, sia-sia menjadi pembicara dan pengkotbah handal, tanpa sikap hormat dan takwa kepada Sang Pencipta. Itulah pesan relevan si Pengkotbah di akhir tulisannya.
Penulis yang sebelumnya agak nyeleneh dan melihat semua yang terjadi di dunia ini sebagai “kesia-siaan belaka”, sebagai peristiwa yang tidak dapat dipegang dan diprediksi, sebagai hal-hal yang tak berbobot dan sementara, kini menjadi lebih “tenang”. Setelah berpetualang dengan pelbagai pendapat dan pandangan, kini ia sampai pada kesimpulan dan kepasrahan. Tentu ia tidak menyangkal apa yang sudah dikatakan sebelumnya. Ia hanya mau menegaskan bahwa: hikmat manusia ada batasnya. Hikmat manusia tidak akan pernah mampu menyelami rencana Allah. Ketidak-mampuan itu mendorong dia untuk menegaskan dua sikap dasar yang perlu dalam hidup kita.
Pertama, terimalah dan nikmatilah hidup serta kebahagiaan yang TUHAN berikan, betapapun sementara sifatnya. Hidup adalah anugerah TUHAN, yang harus dinikmati dengan penuh syukur, di saat senang maupun susah.
Kedua, karena hidup adalah anugerah TUHAN, maka sikap hormat akan TUHAN menjadi kunci untuk membuat hidup kita bermakna. Sikap hormat akan TUHAN akan membuat kita tidak pasrah saja menerima nasib yang tidak pasti, ataupun sibuk mencari kenikmatan tanpa batas, melainkan menerima hidup ini sebagai “tugas”: untuk mengisinya dengan perilaku yang sesuai dengan maksud TUHAN, si Pemberi hidup kita. Itulah yang akan DIA tuntut dari setiap kita, di Hari Pengadilan kelak.
Salam Alkitab Untuk Semua.