Bait Suci memang menjadi situs penting dalam hidup bangsa Israel, yakni sebuah tempat yang menjadi ruang kehadiran dan keberadaan TUHAN di tengah-tengah mereka. Hal ini dapat kita lacak dan pahami dari kitab-kitab sejarah bangsa Israel seperti 1 Raja-raja 6, yakni ketika awal pendirian Bait Suci pada masa Salomo. Pembangunan itu pun menjadi sangat penting dan berpengaruh bagi kehidupan bangsa Israel karena Bait Suci memiliki nilai teologis sebagai simbol keberadaan TUHAN yang berdiam di antara merkea. Artinya, melalui berdirinya Bait Suci juga mereka mengimani adanya rasa aman akibat kehadiran TUHAN, Sang Pencipta langit dan bumi yang tidak dapat dikalahkan oleh allah bangsa-bangsa lainnya. Itu juga alasannya kenapa banyak ritus pengurbanan dan persembahan yang dilakukan di Bait Suci.
Permasalahan utama yang muncul dalam pesan kenabian Yeremia pada perikop ini adalah ketidaksinkronan antara esensi awal Bait Suci dengan perilaku ritus-keseharian dari para imam, nabi, raja dan rakyat Yehuda. Alhasil, Bait Suci pun telah kehilangan nilai utamanya sebagai simbol kehadiran TUHAN, sebagai sebuah ruang dimana para umat TUHAN dapat memaknai kehidupan dan merayakan hubungan mereka dengan TUHAN. Pada satu sisi, respons mereka terhadap perkataan Yeremia terkesan ingin mempertahankan keberadaan Bait Suci. Padahal, perilaku mereka sendirilah yang telah menghancurkan Bait Suci. Perkataan yang Yeremia sampaikan hanyalah menunjukkan akan datangnya sebuah masa kehancuran Bait Suci secara fisik. Namun, perilaku mereka justru menghancurkan Bait Suci secara esensial dan melanggar nilai teologis yang mendasar dari bangunan tersebut.
Sahabat Alkitab, pesan kenabian Yeremia yang disampaikan kepada seluruh penduduk Yehuda perlu kita jadikan sebagai autokritik. Hal ini akan dapat menolong kita untuk terhindar dari sikap hipokritis atau kemunafikan beriman kepada TUHAN. Hal yang paling berbahaya adalah ketika umat yang mengaku percaya kepada TUHAN telah meruntuhkan nilai-nilai mendasar keimanan kepada TUHAN tanpa ia sadari dan tidak mau disadarkan. Bukankah kita terlalu penat untuk melihat perilaku banyak tokoh pemimpin yang tidak dapat mengimplementasikan nilai-nilai kepemimpinanya? Bukankah kita sudah bosan melihat para pejabat yang melanggar nilai-nilai dasar dari tugas-tanggung jawabnya? Bukankah hal ini akan jauh lebih terasa dalam hidup keimanan, yakni ketika perilaku hipokrit itu menjadi bagian dalam relasi dengan TUHAN?