Menjaga perkataan dapat menjadi sebuah tanggung jawab yang begitu sulit untuk dilakukan. Entah orang muda maupun dewasa, seringkali lalai dalam mengendalikan perkataannya dan gagal menghasilkan perkataan yang baik. Seseorang bisa saja berlaku munafik atas perkataan yang ia gembar-gemborkan karena tidak sesuai dengan kenyataan hidup yang ia tampilkan. Seseorang bisa saja memanipulasi khalayak ramai melalui perkataan manis yang ia sampaikan meski tidak sesuai dengan fakta yang sesungguhnya. Seseorang, siapa pun dia dan apa pun perannya, selalu memiliki peluang untuk melakukan hal tersebut. Oleh sebab itu, seorang manusia sudah selayaknya memperhatikan dengan seksama perihal kualitas perkataan yang ia hasilkan.
Teguran yang begitu keras dan tegas dari Tuhan muncul melalui mulut nabi Yeremia terhadap perilaku nabi-nabi palsu yang menghasilkan perkataan-perkataan kosong yang telah menipu umat-Nya. Tindakan Tuhan ini pun dapat kita pahami dalam dua nilai pemaknaan, yakni: Pertama, Tuhan memang tidak berkenan atas perilaku dusta. Tindakan para nabi palsu itu pun semakin memperparahnya dengan mendustakan perkataan Tuhan kepada para umat. Kedua, Tuhan tidak berkenan akan perkataan dusta yang telah menimbulkan dampak destruktif bagi para umat yang semestinya belajar dari proses pembuangan tersebut. Namun, perkataan dusta para nabi palsu telah menghalangi proses transformasi yang sedang Tuhan kerjakan bagi para umat saat itu.
Sahabat Alkitab, pemaknaan terhadap firman Tuhan pada hari ini tidak sedang membahas nilai-nilai klise untuk menjaga perkataan yang jujur dan konstruktif. Justru, pemaknaan ini sedang menyadarkan kita atas sebuah tanggung jawab hidup beriman terkait kualitas perkataan sebagai umat Tuhan. Kita perlu menyadari bahwa perkataan dapat menjadi pintu bagi hadirnya karya transformasi Tuhan, namun perkataan juga dapat menjadi elemen yang menghalangi pekerjaan-Nya. Oleh sebab itu, menjaga kualitas perkataan yang menjadi berkat merupakan tanggung jawab iman yang tidak boleh dianggap remeh oleh setiap umat Tuhan.