Dunia yang kita tinggali saat ini mungkin belum dapat menunjukkan keadilan yang sesungguhnya. Maka dari itu orang-orang percaya perlu melihat bagaimana Allah menyatakan keadilan-Nya, karena jika berbicara mengenai keadilan maka hanya Allah saja lah sumber dari segala keadilan yang ada. Hal itu juga nampak dari bagaimana Allah memperlakukan kita serta mengganjar konsekuensi tertentu atas segala sesuatu yang sudah kita kerjakan.
Demikianlah bangsa Israel turut menghadapi keadilan Allah atas penolakan mereka terhadap Injil. Pertanyaan yang mungkin mencuat adalah jika Allah sudah memilih mereka, bagaimana mungkin pilihan itu bisa gagal? Jika Allah sudah berfirman bahwa Israel adalah umat kesayangan-Nya, bagaimana mungkin firman itu tidak digenapi? Dalam perikop yang jadi dasar perenungan kita saat ini terlihat pembelaan Paulus atas pertanyaan tersebut. Baginya Allah tidak pernah gagal karena firman-Nya selalu digenapi. Untuk mendukung argumentasinya, Paulus menunjukkan apa arti pilihan yang sesungguhnya. Pilihan Allah tidak terikat pada faktor etnis maupun biologis. Kisah pemilihan atas Ishak dan Yakub membuktikan hal tersebut. Dari antara dua bersaudara yakni Ishak dan Ismail, hanya Ishak yang disebut keturunan Abraham. Sementara itu antara Esau dan Yakub, hanya Yakub yang disebut sebagai keturunan Abraham.
Dasar atas pilihan tersebut adalah kedaulatan Allah terutama dalam mengikat perjanjian dengan umat-Nya. Kasih Allah ditunjukkan melalui pilihan-Nya yang bebas dan segala sesuatunya tidak mungkin mengindikasikan ketidakadilan Allah. Peran manusia adalah berserah penuh pada Allah yang memiliki kuasa atas segala sesuatu. Hal paling penting yang dapat kita kerjakan adalah mengerjakan bagian kita dengan sebaik-baiknya terutama sebagai bentuk rasa syukur atas keselamatan yang telah dianugerahkan-Nya. Bagaimana Allah menyentuh hidup kita, menjawab doa-doa, mendidik kita adalah kedaulatan-Nya semata. Kita tidak dalam kapasitas untuk meragukan segenap tindakan-Nya.