Manusia adalah ciptaan Tuhan yang diciptakan berbeda dari ciptaan-ciptaan lainnya. Salah satu pembedanya adalah akal budi serta kehendak bebas yang kita miliki. Dalam gambaran penciptaan-Nya sesungguhnya dua hal tersebut adalah bekal agar manusia dengan segala kesadaran dan kebebasannya memilih dengan sadar untuk memuliakan Allah serta tunduk pada kehendak-Nya. Sayangnya dosa membuat kita memberontak kepada-Nya. Bahkan tidak jarang kita menggugat-Nya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita.
Pertanyaan retoris Paulus mungkin jadi respon yang paling tepat untuk menanggapi nuansa tersebut, “Siapakah kamu, hai manusia maka kamu membantah Allah?” Paulus memberikan penggambaran antara tukang periuk dan tanah liat yang sedang dibentuknya. Apapun yang terjadi dan bentuk dari tanah liat itu kelak sepenuhnya bergantung pada Sang Tukang Periuk. Allah Sang Pencipta punya hak penuh atas ciptaan-Nya. Berkenaan dengan situasi Israel yang mengeraskan hati, maka janganlah heran apabila bangsa yang sudah dipilih tersebut, justru hanya dapat melihat dari jauh dikala bangsa yang tadinya bukan umat malah diberi peluang menjadi umat-Nya. Pernyataan tersebut termuat dalam ayat 25-26, Paulus mengutip nubuat Nabi Hosea dan Yesaya. Mengingat konteks surat Roma, maka kita bisa melihat tindak penggembalaan Paulus yang menguatkan jemaat Roma yang juga terdiri dari orang-orang non Yahudi untuk tetap setia pada firman-Nya dan mensyukuri anugerah-Nya karena itulah yang lebih berarti dibanding tanda-tanda lahiriah yang dimiliki seseorang.
Maka seharusnya hal tersebut juga menjadi pembelajaran bagi kita di masa kini untuk belajar tunduk pada kehendak-Nya. Melawan kepongahan yang seringkali merasuk dalam benak kita sebagai umat percaya. Kita merasa begitu istimewa karena telah menerima anugerah penyelamatan Allah, padahal dalam anugerah yang diterima tersebut harus direspon dengan mewujudnyatakan kehidupan yang berkenan kepada-Nya.