Seringkali banyak konflik yang terjadi dalam relasi atau kehidupan bersama dimulai dari tindakan seseorang asumsi atau penilaian seseorang terhadap orang lain. Penilaian sepihak itu menempatkan orang lain sebagai obyek yang dapat dengan mudahnya kita nilai dan tafsirkan segala tindak-tanduknya. Namun di satu sisi kita juga menyadari bahwa terkadang penilaian kita atas orang lain yang disampaikan dengan obyektif dan penuh kasih dapat membantu mereka untuk bertumbuh dengan menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Lantas bagaimanakah kita seharusnya memaknai larangan Yesus pada perikop kali ini untuk tidak menghakimi.
Pertama-tama kita harus menyadari bahwa larangan yang disampaikan Yesus harus ditempatkan dalam konteksnya yakni gejala umat beragama pada saat itu. Sebagaimana kita ketahui bahwa pada saat itu para pemuka agama Yahudi menerapkan hukum Taurat beserta hukum-hukum turunannya dengan sangat ketat. Sayangnya mereka justru membuat celah untuk melanggar hukum tersebut, sementara umat biasa ditekankan penerapan hukum yang teramat berat. Mereka hanya bisa mengajar dan menghakimi orang lain, sementara hukum-hukum itu tidak dilakukan oleh para pemuka agama Yahudi. Selain itu dengan kebanggaan atas hukum yang mereka miliki membuat timbul gejala untuk merendahkan bangsa-bangsa lain. Maka Yesus mengingatkan umat itu tidak mudah menghakimi orang lain terutama saat menempatkan diri seolah-olah paling benar dan tidak pernah terjerumus dalam kesalahan. Bagaikan melihat selumbar/serbuk kayu di mata orang lain dengan mudahnya, sementara balok di mata sendiri susah untuk dilihat. Sadarilah bahwa kita tidak sempurna dan hanya Tuhan yang memiliki kesempurnaan itu. Dengan demikian jika kita hendak memberikan nasihat kepada orang lain berdasarkan penilaian kita, maka hendaknya hal itu dilakukan dengan penuh kerendahan hati dan dengan kesadaran akan ketidaksempurnaan kita.
Selain itu bagi mereka yang suka menghakimi orang lain, Tuhan Yesus mengingatkan bahwa orang tersebut harus siap apabila jika pada kesempatan lain ia pun akan dinilai dengan ukuran yang sama dengan dikenakannya pada orang lain. Hal ini mengundang kita untuk berpikir berulang kali dan betul-betul berhikmat saat hendak memberikan penilaian terhadap orang lain. Kebijaksanaan bertindak harus mendahului dorongan kita untuk menghakimi sesama.
Nasihat Tuhan Yesus yang kita refleksikan pada saat ini telah menghindarkan kita dari konflik-konflik yang tidak perlu yang seringkali terjadi karena hasrat untuk menghakimi sesama. Seringkali penghakiman itu diberikan dengan semangat untuk “menundukkan” orang lain pada cara pandang serta pola pikir kita. Jika penilaian harus kita buat atas orang lain hendaknya itu semua dilakukan dengan kesadaran untuk kebaikan orang tersebut serta disampaikan dengan penuh kerendahan hati. Hanya Tuhan yang dapat menghakimi kita dengan seutuhnya karena Ia yang menciptakan kita dan sungguh-sungguh mengenal ciptaan-Nya.