Dalam sejarah dunia seringkali kita melihat ada orang-orang yang dipinggirkan, dipandang sebelah mata, dan diperlakukan hanya sebagai objek. Kita terjebak pada sebuah ilusi yang didasarkan pada sebuah pemikiran yang tidak adil bahwa adanya sebuah supremasi atas satu kondisi dibandingkan kondisi lainnya. Mereka yang berkulit lebih terang dianggap lebih baik dibanding mereka yang berkulit gelap, atau laki-laki dianggap lebih superior dibandingkan perempuan. Apakah ini yang dikehendaki oleh Tuhan? Tentu saja tidak, karena bagi Tuhan semua manusia diciptakan seturut gambaran-Nya dan dengan demikian satu dengan lainnya setara di mata-Nya.
Bacaan kita kali ini berada dalam konteks pesta besar yang diadakan Ahasyweros, raja Persia itu. Di akhir pesta tersebut, Raja Ahasyweros memerintahkan para sida-sidanya untuk membawa Ratu Wasti ke hadapannya. Tujuannya bukan sekadar memperkenalkan sang ratu, melainkan memamerkan kecantikannya di depan para pejabat dan tamu yang telah mabuk. Sebuah tindakan yang tentu melukai martabat Wasti sebagai seorang perempuan dan ratu. Ia menganggap istrinya tidak ubahnya sekedar properti yang setara dengan harta benda lainnya. Penolakan Wasti untuk tampil bukan sekadar tindakan pembangkangan, melainkan cermin dari keberanian menjaga harga diri. Meski dia bukan penyembah Allah Israel, Wasti menunjukkan kebijaksanaan dan kesadaran diri yang tinggi. Dalam dunia yang seringkali memaksa perempuan untuk tunduk tanpa suara, Wasti berdiri teguh, meski ia tahu risiko besar menantinya.
Amarah raja yang membara menjadi cermin bahaya dari kekuasaan yang dipadukan dengan ego yang terluka. Saat kekuasaan tidak dibarengi kebijaksanaan, keputusan yang diambil sering kali berujung pada ketidakadilan. Mehuman, salah satu penasihat raja, memperkeruh keadaan dengan menakut-nakuti bahwa tindakan Wasti akan memicu pemberontakan para istri terhadap suami mereka. Alasan yang tampak menjaga ketertiban keluarga ini sejatinya berakar pada ketakutan kehilangan kontrol, bukan pada keinginan membangun hubungan yang saling menghormati. Raja pun memutuskan membuang Wasti dan mengeluarkan dekrit agar setiap suami menjadi penguasa di rumahnya. Keputusan ini, meski tampak kuat di permukaan, sesungguhnya mencerminkan kelemahan yakni ketidakmampuan seorang pemimpin untuk mendengarkan dan menghormati suara yang berbeda.
Sahabat Alkitab, hari ini kita belajar untuk kembali merenungkan kemanusiaan kita. Sudahkah kita memperlakukan orang lain dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. jangan- jangan kita masih terjebak dalam pola pikir yang menganggap wajar merendahkan orang lain berdasarkan asal-usul maupun keberadaan mereka. Bukankah Tuhan menghendaki kita untuk hidup penuh kasih antara seorang dengan yang lainnya. Menghargai dan menghormati setiap orang karena mereka pun adalah pribadi-pribadi yang dikasihi oleh Tuhan. Apa yang kita punya adalah anugerah dan bukan alasan untuk merendahkan orang lain. Semoga Tuhan menuntun kita untuk dapat adil sejak dari dalam pikiran.