Salah satu kecenderungan buruk yang manusia miliki adalah mencari-cari alasan. Tidak sedikit orang yang terus-menerus membuat alasan untuk menunda sebuah pekerjaan, membenarkan diri atas kesalahan atau kekeliruan yang ia buat, maupun untuk menghindar dari tanggung-jawab. Tentu saja, hal ini semakin membawa dampak buruk bagi orang yang dengan sengaja memeliharanya sebagai kebiasaan, tidak terkecuali dalam hidup beriman.
Kita perlu menyadari terlebih dulu bahwa ‘beriman’ berarti kita siap untuk berkomitmen dan mengambil sikap tegas atas setiap langkah kehidupan kita bersama Tuhan. Persoalannya adalah iman itu akan semakin sulit untuk berkembang jika kita masih terlalu banyak membuat alasan. Ada orang yang memiliki sejuta alasan untuk tidak beribadah, berdoa, membaca Alkitab, dsb. Padahal, ia tahu dengan jelas bahwa kegiatan-kegiatan tersebut menjadi cara-cara konkret yang mendasar baginya, sebagai umat percaya, untuk melatih imannya agar terus bertumbuh di dalam Tuhan. Oleh sebab itu, selalu membuat alasan di tengah hidup beriman merupakan indikator kualitas diri yang sangat perlu diwaspadai dan segera diperbaiki.
Teguran yang Petrus sampaikan dalam ayat-ayat ini juga merujuk kepada hasil atau konsekuensi dari pribadi yang selalu mencari alasan di tengah hidup beriman. Petrus memang secara lebih keras mengatakan, “Dan akan terjadi, bahwa semua orang yang tidak mendengarkan nabi itu, akan dibasmi dari umat kita.” Perhatikanlah frasa ‘tidak mendengarkan’ yang dilakukan oleh orang-orang terhadap nabi-nabi utusan Tuhan (bdk. ayat 22). Mereka memiliki banyak alasan untuk menolak berita yang disampaikan oleh nabi-nabi. Padahal, para nabi sedang membagikan pesan yang Tuhan ingin mereka dengarkan. Alhasil, Petrus menegaskan bahwa penolakan yang mereka berikan kepada pesan Tuhan itulah yang telah membawa mereka kepada kebinasaan (‘basmi’).
Sahabat Alkitab, kita perlu mawas diri agar tidak membiarkan diri memiliki kebiasaan selalu membuat alasan. Hal ini sangat tidak baik entah dalam hidup sehari-hari, maupun hidup keimanan kepada Tuhan. Melalui perikop ini kita dapat mengetahui bahwa kebiasaan membuat alasan dapat menghambat kita untuk menerima makna pesan Tuhan, bahkan dapat semakin menjauhkan kita dari Tuhan itu sendiri. Misalnya, seseorang mungkin bisa membuat alasan pertama untuk tidak beribadah, meski ia bisa melakukannya. Namun, apabila alasan itu terus dibuat untuk kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya, maka secara tanpa sadar ia sedang semakin menjauh dari Tuhan. Di dalam hidup beriman kita perlu mengingat untuk mendengar tanpa penolakan dan melakukan tanpa alasan.