Kejujuran merupakan salah satu unsur pembentuk kebudayaan hidup manusia yang sehat. Kejujuran ini pun dapat diibaratkan sebagai bahasa universal yang berlaku di segala aspek kehidupan, mulai dari relasi suami-isteri, orang tua-anak, lingkungan pekerjaan, pertemanan, perekonomian, perpolitikan, hingga kehidupan beriman bersama TUHAN. Oleh sebab itu, menciptakan komunitas masyarakat yang terus bertumbuh tanpa disertai kejujuran adalah sebuah mimpi yang sangat sulit untuk diwujudkan. Setiap bentuk relasi yang sehat pasti akan menerima dan menuntut kejujuran agar terus muncul di dalamnya. Namun, setiap bentuk relasi yang menolak kejujuran pun dapat disimpulkan sebagai lingkungan yang tidak sehat untuk pertumbuhan seorang manusia, baik dalam hal karakter, mentalitas maupun iman.
Amsal 11:1-5 pun menampilkan kepada kita pentingnya peran kejujuran yang diibaratkan sebagai unsur dalam sikap hidup manusia yang berkenan di hadapan TUHAN. Setiap orang yang hidup tanpa kejujuran sangatlah erat dengan perilaku angkuh dan penuh ketamakan dalam segala laku hidupnya. Hal inilah yang tidak berkenan di hadapan TUHAN. Bahkan, penulis Amsal dengan dramatis menyebutnya sebagai ‘kejijikan’ di hadapan TUHAN untuk menunjukkan betapa TUHAN tidak berkenan untuk bertemu dengan perilaku-perilaku yang demikian.
Sahabat Alkitab, teks bacaan dari bagian Amsal pada hari ini bukanlah sebuah wejangan klise yang dapat kita biarkan berlalu begitu saja atau dianggap sebagai sebuah konsep idealisme yang sudah usang. Justru, nilai-nilai yang terkandung di dalam syair-syair ini merupakan panduan hidup yang sangat praktis. Bahkan, pengajaran tentang kejujuran dalam Amsal semestinya menjadi ‘tolok ukur’ yang pasti dan sebagai indikator kualitas sikap hidup dari setiap umat TUHAN. Secara sederhana kita dapat menimbang seberapa besar atau seberapa banyak sikap hidup yang kita hasilkan sebagai bentuk nyata dari kejujuran dalam menjalani hidup?